Sebagai seorang yang belajar tentang pendidikan, ikut prihatin melihat fenomena dan mendengar informasi seputar masalah pendidikan yang berkembang saat ini. Mulai dari kasus pembunuhan dosen oleh mahasiswanya, memenjarakan guru oleh wali murid lantaran nyubit seorang siswa, yuforia merayakan kelulusan siswa SMP-SMA yang masif di posting di media sosial sampai pada kasus asusila yang dilakukan oleh anak usia dini. Belum lagi bicara soal mutu pendidikan, layanan pendidikan, biaya pendidikan, manajemen pendidikan, profesionalisme pendidik, sampai pada sistem pendidikan nasional yang semuanya masih carut marut. Ya, tidak berlebihan memang jika saya mengatakan demikian. Bukan menyalahkan pemerintah, juga bukan tidak bangga dengan sistem pendidikan yang ada, apalagi menyepelekan usaha pemerintah dalam upaya meningkatakan kualiatas pendidikan nasional. Namun ini adalah fakta yang nampak dan berkembang saat ini, yang semua orang bisa melihat dan menilai bahwa agaknya pendidikan belum mampu menghantarkan peseta didik menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Demikian tujuan pendidikan nasioanal yang termaktub dalam UU sisdiknas BAB II, Pasal 3, Tahun 2003. Belum lagi jika melihat fungsi pendidikan yang diharapkan oleh negara ini yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kejadian demi kejadian yang bermunculan dalam dunia pendidikan saat ini adalah cerminan pendidikan bangsa yang ada. Jika melihat antara fungsi dan tujuan dengan realita pendidikan yang ada dilapangan nampaknya memiliki rentang yang jauh dari ideal, yang pada akhirnya tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam undang-undang pun seperti sebuah selogan mimpi tanpa wujud nyata. Lalu jika sudah demikian adanya, apa yang bisa kita perbuat?. Guru dikungkung kreatifitasnya dalam mendidik, sedang siswa terlalu diberikan kebebasan bereksplorasi. Pada akhirnya hal ini mengakiibatkan kesenjangan antara pendidikan yang diberikan guru dengan kebebasan siswa yang ada. Guru pada akhirnya hanya melakukan tugasnya untuk mengajar, tidak untuk mendidik karakter siswanya. Sedang siswa bebas bereskplorasi tanpa takut pada etika dan norma. Demikianlah salah satu faktor banyaknya bermunculan masalah karakter pada peserta didik karena guru terlalu takut untuk menegakkan nilai-nilai pendidikan pada siswa karena ia dibatasi oleh aturan HAM, akhirnya guru hanya bisa melihat dan cukup dengan menegurnya tanpa peduli perubahan sikap siswanya. Padahal pendidikan tidak hanya bicara soal pengajaran dan transformasi ilmu dan hal ini disepakati oleh hampir semua para pemerhati pendidikan. Pengajaran dan transformasi ilmu hanya bagian kecil dari pendidikan itu sendiri. Merujuk pada salah satu pakar pendidikan timur tengah doktor Khalid Bin Hamid al-Hazimi dalam kitabnya “usul at-Tarbiyyah al-Islamiyah” setidaknya ada lima makna yang termasuk bagian dari pendidikan yaitu :

1.   Al-islah (perbaikan), pendidikan hendaknya membawa pada perubahan dan perbaikan. Inilah dasar utama dari pendidikan, bahwa pendidikan hendaknya mampu membawa pada perubahan dan perbaikan. Keberhasilan sebuah pendidikan bisa dilihat dari aspek ini. Jika peserta didik tidak memenuhi aspek ini artinya pendidikan bisa dikata gagal. Tolak ukurnya, bisa dilihat pasca peserta didik menerima pendidikan. Apakah membawa perubahan dan perbaikan atau tidak, baik perubahan dan perbaikan pada dirinya, masyarakatnya maupun bangsa dan agamanya. Perubahan itu bisa dilihat dari segi keilmuan, sikap, perilaku, cara berpikir, bernorma dan beretika.

2.  An-Nama’ wa az-ziyaadah (Berkembang dan bertambah), selain membawa pada perbaikan, pendidikan juga bicara soal perkembangan dan pertambahan. Artinya, pendidikan juga mengembangkan minat, bakat dan kecakapan peserta didik untuk mengembangkan dirinya di lingkungan sosialnya. Berkembang dan bertambah juga diartikan sebagai perkembangan dan pertambahan keilmuan peserta didik setelah menerima pendidikan. Apakah peserta didik itu terlihat perkembangan dan pertambahannya atau tidak?. Disinilah tugas pendidikan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan itu.

3.    Nasyaa dan Tara’ra’a (Tumbuh dan Terbimbing), makna ini menyoroti pada proses pendidikan yang dilakukan pendidik terhadap peserta didiknya. Artinya, pendidikan harus mampu memberikan proses yang baik pada peserta didik melalui pembinaan, baik pembinaan skill, pembinaan sikap dan perilakunya. Proses pendidikan yang baik akan melahirkan lulusan yang juga baik, dengan demikian pendidikan juga harus membimbing peserta didik yang baik sebagai upaya melahirkan lulusan-lulusan yang baik.     

4.   Saasahu wa tawalla amruhu (memimpin dan mengendalikan urusannya), dalam hal ini peran guru sebagai pendidik harus mampu mencerminkan perilaku yang baik di depan siswanya. Guru sebagai pendidik adalah seorang pemimpin di mata siswanya, semua gerak langkahnya menjadi panutan siswa dalam berperilaku. Dengan demikian pendidikan harus mampu menyediakan para pemimpin (guru-guru) yang baik, yang berkualitas, tidak hanya dalam segi keilmuannya saja namun juga bermutu dalam berperilakunya. Memimpin juga berarti guru harus mampu mengajak, mendorong siswa untuk berbuat baik, berpikir baik, dan berperilaku baik. Ini jualah yang dinyatakan oleh bapak pendidikan indonesia, Ki Hajar Dewantara Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat dan dibelakang memberikan dorongan). Sedang yang dimaksud mengendalikan urusannya adalah seorang guru harus mampu mengendalikan semua jenis perilaku dan tindakan siswa yang tidak baik, mencegah dan mengantisipasi terjadinya urusan-urusan yang tidak baik yang terjadi dalam dunia pendidikan, dan makna pendidikan yang terakhir adalah

5.    Ta’lim (Pengajaran), inilah aspek yang sering disoroti sebagai aktifitas pendidikan oleh kebanyak orang, yaitu pengajaran. Pengajaran berarti memberikan, mentransformasikan keilmuan pendidik pada peserta didiknya, dari guru ke siswanya. Pengajaran mencakup semua cabang keilmuan, baik eksakta, sosial, umum, dan bahkan agama. Biasanya pengajaran dilakukan dalam ruangan dengan fasilitas dan media pengajarannya. Pengajaran ini fokus utamanya adalah pelestarian keilmuan ke generasi berikutnya.  

Jika merujuk pada makna pendidikan di atas, agaknya problematika-problematika pendidikan yang berkembang saat ini bisa diminimalisir. Karena pendidikan betul-betul mencover semua aspek nilai dari pendidikan itu sendiri. Baik dari segi pelaksanaan pendidikannya, guru dan siswanya. Banyaknya bermunculan masalah pendidikan di atas salah satunya disebabkan dari biasnya filsafat pendidikan yang dianut, dari biasnya filsafat pendidikan itulah yang mempengaruhi pada sistem, tujuan sampai pada pelaksanaan pendidikan di lapangan. Jika problematika ini terus dibiarkan berkembang di masyarakat, maka akan kehilangan trust / kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan. Jika masyarakat sudah kehilangan kepercayaannya pada pendidikan yang dikelola pemerintah, maka masyarakat akan banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan filsafat, tujuan dan pelaksanaan pendidikannya sendiri. Dari yang bercorak entrepreneurship, alam, dan pendidikan berbasis agama. Inilah salah satu faktor maraknya pendirian pendidikan oleh pihak-pihak swasta, hal ini disebabkan tak lain sudah hilangnya kepercayaan masyarakat dengan sistem pendidikan yang ada saat ini.
Pendirian pendidikan baru ini di satu sisi memiliki kebaikan sebagai penyeimbang pendidikan nasioanal yang mengalami krisis mental. Terbukti dengan beberapa pendidikan swasta mampu menciptakan dan melahirkan lulusan-lulusan yang baik secara akademik dan moral. Sistem pendidikannya pun lebih stabil, kondusif dan terjaga dengan baik. Etika, norma, sopan santun masih terlestari dengan cukup baik di linkungan sekolah. Apalagi jika melihat pendidikan-pendidikan yang berbasis agama, masalah-masalah degradasi dan dekadansi moral tersebut mampu terjawab. Pendidikannya pun membekali siswa sikap kemandirian dan tanggung jawab yang terintegrasi pada sistem pendidikan sekolah. Selain itu, pendidikannya lebih memberikan kebebasan kreatifitas yang terbatas sehingga siswa mampu bereksplorasi sesuai tuntunan, etika dan normal. Bicara soal akademik, pendidikan swasta pun sudah mulai menunjukan batang hidungnya. Perlahan tapi pasti mampu membuktikan kualitas pendidikannya. Namun sayangnya di sisi lain pendidikan-pendidikan yang didirikan oleh pihak swasta ini masih terkesan mahal. Kesan ini pun bukan tanpa alasan, melihat realita yang ada menunjukan bahwa memang pendidikan swasta lebih mahal dari pada pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan segala bantuan dana pendidikannya. Akibat dari mahalnya biaya pendidikan inilah yang mengakibatkan kesenjangan sosial di masyarakat, bahwa hanya orang yang kaya yang mampu mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Pada akhirnya masyarakat lebih memilih pendidikan apa adanya dengan jangkauan biaya yang mereka mampu. Selain itu lembaga-lembaga pendidikan swasta ini terkesan melakukan komersialisasi pendidikan. Akhirnya, pendidikan bergeser arah yang semula ruang lingkupnya pada pembelajaran dan pendidikan pada kegiatan “bisnis” untuk meraup keuntungan dan kepentingan pemilik lembaga.
“Bisnis” pendidikan ini kemudian disebuat sebagai “Noble Industry”, dan ini akhirnya menjadi masalah baru dimana paradigma pendidikan menjadi “yang mahal yang berkualitas” sedang yang tidak mahal biasa saja. Paradigma ini terus berkembang saat ini di masyarakat bahwa yang mahal-lah yang bagus pendidikannya. Padahal tidak demikian adanya, belum tentu juga yang mahal itu baik pendidikannya, demikian sebaliknya bukan berarti yang rendah biaya pendidikannya tidak berkualitas. Namun sayangnya paradigma ini sudah tertanam dalam benak pikir masyarakat yang ada. Tentu tertanamnya paradigma itu pun bukan tanpa alasan, melihat eksistensi pendidikan swasta yang semakin menujukan eksistensinya di permukaan sedang pendidikan nasional semakin menunjukan keterpurukannya dengan ditandai dengan degradasi dan dekadansi moral yang terjadi akhir-akhir ini.
Akhirnya, ini menjadi tugas besar para praktisi pendidikan untuk bahu membahu, menyamakan langkah dan merapatkan barisan untuk sama-sama memikul beban pendidikan bangsa ini lebih baik. Bukan waktunya untuk berdiam diri melihat fenomena-fenomena yang terjadi saat ini. Jika para praktisi memilih untuk acuh, kepada siapa masyarakat hendak mengadu. Sudah waktunya untuk menyelamatkan pendidikan bangsa ini, agar mampu benar-benar menciptakan bangsa yang bermartabat sebagaimana dimanahkan oleh undang-undang. #SaveEducation



Labels: ,

Posting Komentar

Author Name

{picture#https://photos.google.com/photo/AF1QipPhwXqnQPZt7roDvDRN1IYTUDAUIbcEWi69thWv} Selamat Datang dan Selamat Membaca di Suhe's Blog. Blog ini saya buat sebagai tempat belajar dan berbagi. Karena kewajiban seorang muslim adalah untuk terus belajar, dan seorang muslim terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Semoga memberi manfaat :) {facebook#https://www.facebook.com/akhi.suhe} {twitter#https://twitter.com/suhe_20} {google#https://plus.google.com/u/0/115152556635352635251}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.