Ada satu kajian menarik pada majelis ilmu yang saya hadiri semalam. Setidaknya ada beberapa point yang “menampar” diri ini untuk kembali memikirkan kedzoliman, kebodohan, dan kenistaan hidup yang selama ini dijalani. Kajian itu syarat dengan nilai-nilai tauhid dan tazkiatun nafs, meski isinya disampaiakan secara sederhana dan lugas, namun memiliki makna yang amat dalam. Pidato itu diawali dengan sebuah pertanyaan “pa, bu, kalau panjenengan hadir di majlis ilmu ini diberi kantong pelastik yang isinya makanan dan atau barang berharga lainnya, kira-kira panjenengan mau bawa pulang kantong pelatik itu ndak?”. Sontak jamaah pun menjawab “ya”, kemudian ditanya lagi, “pa, bu kalau panjenengan diberi kantong pelastik yang didalamnya isinya bekas muntahan orang, kira-kira panjenengan mau bawa itu kantong pelastik atau tidak?”.”tidaak”. Sekilas pertanyaan itu nampak tak memiliki arti dihati para jamaah malam itu, namun taktala dijelaskan baru kemudian mendapatkan maknanya. “pa, bu, sekarang pertanyaanya adalah isi kantong pelastik kita itu opo?, Bagaimana isi dalam diri kita ini?, apik atau elek?”. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh lisan, sebagaimana para jamaah malam itu pun memilih berdiam karena pertanyaan ini memang bukan untuk dijawab dengan lisan, namun dengan hati, nurani. Saat isi dalam diri kita ini “kotor”, “jelek” maka begitu pun derajat kita dihadapan Tuhan dan makhluk-Nya. Itulah sebabnya sebaik apapun citra yang dibangun, akan tetap nampak tak “apik”. Meski dibungkus dengan kantong pelastik yang bagus atau bungkus lainnya yang lebih bagus. Karena jika demikian pun, kalau isi didalamnya “kotor” akan tetap tidak ada harganya. Dalam agama, jika isi dan amal diri kita ini baik, maka Allah akan tempatkan di syurga-Nya. Demikian jika isi, amal diri kita jelek, Allah sediakan neraka-Nya.
                Kajian masih berlanjut menjelaskan tentang dosa. “pa, bu, adakah disini yang tidak punya dosa?” demikian sang ustad bertanya. “tidak ada”. “adakah disini yang sedikit dosanya” Tanya sang ustad lagi. “tidak ada”. Pertanyaan berhenti tanpa penjelasan lebih lanjut. “Pa, bu, kenapa Tuhan ciptakan nafsu?, nafsu diciptakan untuk membedakan orang berakal dan tidak, nafsu diciptakan untuk membedakan orang bodoh dan pintar, nafsu juga diciptakan untuk menguji diri pa, bu. Orang bodoh itu karena kalah dengan nafsunya, sedang yang pinter itu yang mampu mengendalikan nafsunya.” Saya yang menghadiri majlis itu berpikir keras untuk menangkap apa maksud dari prolog kajian ini. menangkap makna dengan melihat pada diri sendiri. Pertanyaa-pertanyaan itu membuat diri ini berpikir akan diri ini sebenarnya, “who Im I?”. Hanya seorang hamda yang dhoif penuh lumuran dosa, bahkan sampai tulisan ini dibuat, diri ini masih “kotor” dengan dosa-dosa kedzoliman diri.
Hal ini yang membuat berpikir, kenapa orang masih menghargai diri yang kotor ini?, semua tentu karena Tuhan masih sangat sayang dengan diri ini, menutupi semua aib yang selama ini bersemayam di dalam diri. Demikian dengan saudara, tak usah angkuh hanya baru dipuji orang. Jangan bangga hanya baru dihargai orang, karena kita mulia dihadapan manusia itu bukan karena diri kita yang mulia, tapi Tuhan masih menutupi aib-aib kita, karena Tuhan masih izinkan kemulyaan-Nya bersemayam di dalam diri kita. Begitu pun pada orang lain, tak usah berlebihan menghargai orang lain, juga tak usah berlebihan memuji hamba-Nya. Puji dan hargailah ia karena Allah. Orang mulia, sukses, hebat, sholeh atau apapun itu, bukan dilihat dimasa hidupnya, tapi lihatlah saat setelah wafatnya.
                Kemudian materi dilanjutkan membahas tentang pembersihan jiwa. “Pa, bu, kalau bapak, ibu tau diri ini kotor, apa yang harus dilakukan?”. “dibersihkan” jawab jamaah. “ya, harus dibersihkan. Tapi hati-hati pa, bu, kalau sakit salah berobat bukan nambah sembuh, tapi bakal nambah sakit. Alih-alih taubat, kalau salah jalan bukan tambah bener, tapi bakal nambah rusak. Taubatlah sesuai syariat, sesuai tuntunan alqur’an dan assunah.” Demikian ustad menjelaskan. Pertanyaan kemudian dilanjutkan “Pa, bu yang bener dandan dulu atau mandi dulu?”, “Mandi dulu”, “ah yang bener?” “ya” jawab jamaah. “tapi kita lebih sibuk dandan bu, dari pada mandi. Coba liat orang-orang lebih sibuk “dandan” biar dihormati, dihargai, dipuji orang, sedang dalamnya masih kotor. Bersihkan diri dulu, derajatmu akan datang”. Pernyataan ustad ini mencerimnkan kebanyakan orang saat ini. dimana lebih banyak dan habis waktuny untuk membangun citra diri, sedang mengabaikan “kotoran” yang ada dalam dirinya. Astagfirullahahadzim.
                “Allah itu suci, makanya klo ngadep Allah harus suci” Ustad menjelaskan. “Kalo panjenengan solat tapi masih suka maksiat, berarti solat panjenengan belum nyambung dengan Allah, frekuansi panjenenagan masih belum nyambung dengan frekeunsi Allah. Kalo Allah suci, makanya harus sucikan diri biar nyambung ama Allah. Suci secara lahiriyah, dan suci secara bathiniyah. Suci lahiriyah, itu kenapa sebabnya kita suruh berwudhu sebelum solat, wudhu menjadi syarat sahnya solat, karena Allah suci, sebelum ngadep Allah harus suci. Suci bathiniyah, kita harus membersihkan urusan duniawi kita, membersihkan sifat dan sikap buruk kita, melepas segala kesombongan dan keangkuhan diri dihadapan Allah, merendahkan dan menghinakan diri dihadapan Allah”. Demikian ustad memaparkannya. Ah! Malunya diri ini saat mendengar pemaparan ustad ini. Nampak seperti baik, nampak rajin ibadah namun maksiatnya masih jalan. Sepertinya ada yang salah dengan solatku!. Demikian juga mungkin terjadi pada saudara, lima kali sehari menunaikan ibadah, namun tidak menambah keimanan, lima kali sehari solat namun maksiat masih terus jalan. Solat yang seharusnya membuat Tahsya a’nil fahsyai wal munkar, tapi nyatanya belum mampu membendung kemaksiatan diri kita. Bukan solatnya yang salah, tapi diri kita yang belum baik dalam menjalankan solatnya. Tidak ada janji Allah yang dusta, begitu pun dengan solat. Allah sudah mensyariatkan bahwa solat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Maka saat solat kita belum mampu sampai pada tingkat itu, berarti ada yang salah dengan solat kita. #KuduBanyakBelajar.
                “Sibuklah membersihkan diri pa, bu. Semoga Allah berkenan mengangkat derajat kita. lihat bayi pa, bu. Itulah kemulyaan yang Allah lihatkan pada kita bagi hamba-hamba-Nya yang suci dan bersih. Bayi itu ndak usah apa-apa banyak yang ngurusin. Bayi itu ndak usah sibuk dengan mencari rizki, sudah ada yang menjamin. La kita pa, bu kalau sibuk mbersihin diri, kembali pada fitah, nanti Allah yang ngurusin semuanya. Lihat pa, bu para salafusholih dulu, ndak usah sibuk dengan dunia, Allah cukupkan hidupnya, ndak usah banting tulang, pergi pagi pulang sore, Allah cukupkan rizkinya. Karena apa, karena sibuk bersihin diri, minta ampun ama Allah. Usaha dan kerjanya bukan untuk dunianya, tapi untuk Allah, untuk menyempurnakan ikhtiarnya. Para salafusholih tidak resah, gelisah dengan kekayaan dan kemiskinan dunia karena ia sadar bahwa ada yang lebih dari keduanya, yaitu kunci syurga. Seorang muslim semua sudah dikasih kunci syurga-Nya, tapi masalahnya kunci itu dipake atau ga, opo kunci syurgane lailaha illallah. Kekayaan dan kemiskinan dalah bagian dari episode kehidupan, sebuah titipan. Makane solato, sing bener nggeh, poso o sing bener enggeh. Mugi-mugi Allah lares ngangkat derajat kulo sedoyo,” Ujar sang ustad pada jamaah yang hadir. Kalimat ini, lagi-lagi membuat hati ini damai mendengarkannya. Kesibukan dunia saat ini telah membawa kita pada kegersangan hidup. Hidup sepertinya keriiiing, bahkan tak jarang lupa dengan Allah. Banting tulang mengais rizki, mencampur adukan yang halal dan yang haram, menanggalkan kewajiban beribadah pada-Nya, seolah lupa bahwa yang memberi semuanya adalah Allah, yang meluaskan dan menyempitkan rizki adalah Allah.  
                “Pa, bu lihat sinar matahari, tiap hari kita merasakana hangatnya to. Tapi klo bapak, ibu ada di dalam rumah kira-kira terkena sinar matahari ndak?” tanya pa ustadz “tidak”, “kenapa pa, bu” tanya pa ustad lagi. “karena kehalang tembok, atap” jawab jamaah. “ya demikian pa, bu, cahaya petunjuk Allah itu selalu datang kepada kita, tapi karena dosa kita banyak, makanya tidak masuk, makanya susah ngambil hikmah, itu salah kita sendiri, ojo nyalahno gusti Allah!”. Berapa banyak saudara, dari kita yang demikian adanya, hidupnya seperti dalam kegelapa, hidupnya dalam lingkaran dan lumuran dosa. Sehingga akhirnya susah dekat dengan Allah, susah menerima kebaikan, susah melihat hikmah. Itu bukan Allah tidak adil, tapi itu justru akibat perilaku diri kita sendiri yang menghijab diri dengan Allah.
                Lalu bagaimana cara membersihkan diri dari kotoran dosa yang melekat dalam diri kita?, Ustdz pun memaparkan beberapa langkah pembersih jiwa sesuai syariat agama. “Pertama, sucikan diri, jaga wudhu’ kita, usahakan hari-hari kita dipenuhi air wudu’. Batal-wudu’ lagi, batal-wudu’ lagi demikian seterusnya. Orang bermaksiat itu karena ga suci pa, bu. Wudhu’ membentengi diri dari perilaku-perilaku yang tidak terpuji. Panjenengan tau kisah sahabat bilal yang suatu pagi selepas solat subuh ditanya Raosul. “Ya bilal” engge kanjeng rosul, “Katakan kepadaku apa amalanmu yang paling besar pahalanya yang kamu kerjakan dalam islam? “kelipun ya rasul” takon bilal “Sesungguhnya aku mendengar hentakan sandalmu di syurga”, “Setiap aku berwudu, baik siang maupun malam, aku selalu melakukan solat dengan wudu tersebut ya Rasul” jawab Bilal. Subhanallah pa, bu, Bilal merupakan sahabat rasul yang selalu menjaga kesehariannya dengan berwudhu. Setiap wudhunya itu batal, maka ia akan berwudhu lagi kemudian melakukan solat dua rakaat setelah wudhu tersebut. Kedua, Sabar. Sabaro pa, bu mon di uji maring gusti Allah. Ujian untuk mengukur kualitas keimanan kita. Semua butuh ujian, tidak mungkin panen kalau tidak diuji nandur, tidak mungkin merdeka kalau tidak diuji perjuangan. Ingin mendapatkan nilai bagus tidak mau diuji yo opo. Ujian niku boten wenten sing ngelebihi kapasitas kita pa, bu. Gusti Allah tau kadar keimanan dan keislaman kita. Mon kulo sedoyo sabar, Allah tempataken ning tempat sing luweh luhur. Ada lagi ujian sebagai pelebur dosa-dosa kita, mangkakno sing sabar. Sabar juga saat melihat kemunkaran dan kemaksiatan. Sabar untuk tidak melakukannya. Sabaro untuk menahan dari kesenangan sesaat, ono suargo sing abadi ning akhirat. Kaping telu, rawue ning masjid. Makmurno masjid, makmurno rumah-rumah Allah dengan ibadah-ibadah kita, lan kaping papat orang-orang yang nunggu waktu solat, ia datang sebelum adzan berkumandang, duduk berdzikir siap menghadap Allah. Waktunya hanya untuk menunggu waktu solatnya, dan waktu nunggunya digunakan untuk kebermanfaatan bagi sesama dan amal-amal sholih lainnya”

Demikian kalimat panjang penutup kajian malam itu. Lagi lagi sepertinya diri ini sudah jauh Allah, jauh dari nilai-nilai kebaikan, kering dan tandus. Orang-orang yang “hidup bersama” Tuhan akan selalu menemukan kedamaian akhiratnya tanpa melupakan dunianya. Wallahu A’lam. Semoga ada kebaikan yang membawa manfaat. Amiin.
Labels: ,

Posting Komentar

Author Name

{picture#https://photos.google.com/photo/AF1QipPhwXqnQPZt7roDvDRN1IYTUDAUIbcEWi69thWv} Selamat Datang dan Selamat Membaca di Suhe's Blog. Blog ini saya buat sebagai tempat belajar dan berbagi. Karena kewajiban seorang muslim adalah untuk terus belajar, dan seorang muslim terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Semoga memberi manfaat :) {facebook#https://www.facebook.com/akhi.suhe} {twitter#https://twitter.com/suhe_20} {google#https://plus.google.com/u/0/115152556635352635251}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.