![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhGJVL8ZVPYb41AXJTArDP4r25D54pVbSinIYq2xm_XGzohk1pgaZDB2TbKPtzhyphenhyphenpwIOyyYedwPzwTfJDFWJppKRPPXBUeau-OYxyNffK63Vr04-EtskeHDg8aTCDXPPDw2CuV56Qj3LT8/s400/Mengapa-Kita-Harus-Mensucikan-Jiwa-Tazkiyatun-Nafs.jpg)
Ada satu
kajian menarik pada majelis ilmu yang saya hadiri semalam. Setidaknya ada
beberapa point yang “menampar” diri ini untuk kembali memikirkan kedzoliman,
kebodohan, dan kenistaan hidup yang selama ini dijalani. Kajian itu syarat
dengan nilai-nilai tauhid dan tazkiatun nafs, meski isinya disampaiakan secara
sederhana dan lugas, namun memiliki makna yang amat dalam. Pidato itu diawali
dengan sebuah pertanyaan “pa, bu, kalau panjenengan hadir di majlis ilmu ini
diberi kantong pelastik yang isinya makanan dan atau barang berharga lainnya,
kira-kira panjenengan mau bawa pulang kantong pelatik itu ndak?”. Sontak jamaah
pun menjawab “ya”, kemudian ditanya lagi, “pa, bu kalau panjenengan diberi
kantong pelastik yang didalamnya isinya bekas muntahan orang, kira-kira
panjenengan mau bawa itu kantong pelastik atau tidak?”.”tidaak”. Sekilas
pertanyaan itu nampak tak memiliki arti dihati para jamaah malam itu, namun
taktala dijelaskan baru kemudian mendapatkan maknanya. “pa, bu, sekarang
pertanyaanya adalah isi kantong pelastik kita itu opo?, Bagaimana isi dalam
diri kita ini?, apik atau elek?”. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh lisan,
sebagaimana para jamaah malam itu pun memilih berdiam karena pertanyaan ini
memang bukan untuk dijawab dengan lisan, namun dengan hati, nurani. Saat isi
dalam diri kita ini “kotor”, “jelek” maka begitu pun derajat kita dihadapan
Tuhan dan makhluk-Nya. Itulah sebabnya sebaik apapun citra yang dibangun, akan
tetap nampak tak “apik”. Meski dibungkus dengan kantong pelastik yang bagus
atau bungkus lainnya yang lebih bagus. Karena jika demikian pun, kalau isi
didalamnya “kotor” akan tetap tidak ada harganya. Dalam agama, jika isi dan
amal diri kita ini baik, maka Allah akan tempatkan di syurga-Nya. Demikian jika
isi, amal diri kita jelek, Allah sediakan neraka-Nya.
Kajian
masih berlanjut menjelaskan tentang dosa. “pa, bu, adakah disini yang tidak
punya dosa?” demikian sang ustad bertanya. “tidak ada”. “adakah disini yang
sedikit dosanya” Tanya sang ustad lagi. “tidak ada”. Pertanyaan berhenti tanpa
penjelasan lebih lanjut. “Pa, bu, kenapa Tuhan ciptakan nafsu?, nafsu
diciptakan untuk membedakan orang berakal dan tidak, nafsu diciptakan untuk
membedakan orang bodoh dan pintar, nafsu juga diciptakan untuk menguji diri pa,
bu. Orang bodoh itu karena kalah dengan nafsunya, sedang yang pinter itu yang
mampu mengendalikan nafsunya.” Saya yang menghadiri majlis itu berpikir keras
untuk menangkap apa maksud dari prolog kajian ini. menangkap makna dengan
melihat pada diri sendiri. Pertanyaa-pertanyaan itu membuat diri ini berpikir
akan diri ini sebenarnya, “who Im I?”. Hanya seorang hamda yang dhoif penuh
lumuran dosa, bahkan sampai tulisan ini dibuat, diri ini masih “kotor” dengan
dosa-dosa kedzoliman diri.
Hal ini yang membuat berpikir, kenapa
orang masih menghargai diri yang kotor ini?, semua tentu karena Tuhan masih
sangat sayang dengan diri ini, menutupi semua aib yang selama ini bersemayam di
dalam diri. Demikian dengan saudara, tak usah angkuh hanya baru dipuji orang. Jangan
bangga hanya baru dihargai orang, karena kita mulia dihadapan manusia itu bukan
karena diri kita yang mulia, tapi Tuhan masih menutupi aib-aib kita, karena
Tuhan masih izinkan kemulyaan-Nya bersemayam di dalam diri kita. Begitu pun
pada orang lain, tak usah berlebihan menghargai orang lain, juga tak usah
berlebihan memuji hamba-Nya. Puji dan hargailah ia karena Allah. Orang mulia,
sukses, hebat, sholeh atau apapun itu, bukan dilihat dimasa hidupnya, tapi
lihatlah saat setelah wafatnya.
Kemudian
materi dilanjutkan membahas tentang pembersihan jiwa. “Pa, bu, kalau bapak, ibu
tau diri ini kotor, apa yang harus dilakukan?”. “dibersihkan” jawab jamaah. “ya,
harus dibersihkan. Tapi hati-hati pa, bu, kalau sakit salah berobat bukan
nambah sembuh, tapi bakal nambah sakit. Alih-alih taubat, kalau salah jalan
bukan tambah bener, tapi bakal nambah rusak. Taubatlah sesuai syariat, sesuai
tuntunan alqur’an dan assunah.” Demikian ustad menjelaskan. Pertanyaan kemudian
dilanjutkan “Pa, bu yang bener dandan dulu atau mandi dulu?”, “Mandi dulu”, “ah
yang bener?” “ya” jawab jamaah. “tapi kita lebih sibuk dandan bu, dari pada
mandi. Coba liat orang-orang lebih sibuk “dandan” biar dihormati, dihargai,
dipuji orang, sedang dalamnya masih kotor. Bersihkan diri dulu, derajatmu akan
datang”. Pernyataan ustad ini mencerimnkan kebanyakan orang saat ini. dimana
lebih banyak dan habis waktuny untuk membangun citra diri, sedang mengabaikan “kotoran”
yang ada dalam dirinya. Astagfirullahahadzim.
“Allah
itu suci, makanya klo ngadep Allah harus suci” Ustad menjelaskan. “Kalo panjenengan
solat tapi masih suka maksiat, berarti solat panjenengan belum nyambung dengan
Allah, frekuansi panjenenagan masih belum nyambung dengan frekeunsi Allah. Kalo
Allah suci, makanya harus sucikan diri biar nyambung ama Allah. Suci secara
lahiriyah, dan suci secara bathiniyah. Suci lahiriyah, itu kenapa sebabnya kita
suruh berwudhu sebelum solat, wudhu menjadi syarat sahnya solat, karena Allah
suci, sebelum ngadep Allah harus suci. Suci bathiniyah, kita harus membersihkan
urusan duniawi kita, membersihkan sifat dan sikap buruk kita, melepas segala kesombongan
dan keangkuhan diri dihadapan Allah, merendahkan dan menghinakan diri dihadapan
Allah”. Demikian ustad memaparkannya. Ah! Malunya diri ini saat mendengar pemaparan
ustad ini. Nampak seperti baik, nampak rajin ibadah namun maksiatnya masih
jalan. Sepertinya ada yang salah dengan solatku!. Demikian juga mungkin terjadi
pada saudara, lima kali sehari menunaikan ibadah, namun tidak menambah
keimanan, lima kali sehari solat namun maksiat masih terus jalan. Solat yang
seharusnya membuat Tahsya a’nil fahsyai wal munkar, tapi nyatanya belum
mampu membendung kemaksiatan diri kita. Bukan solatnya yang salah, tapi diri
kita yang belum baik dalam menjalankan solatnya. Tidak ada janji Allah yang
dusta, begitu pun dengan solat. Allah sudah mensyariatkan bahwa solat itu
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Maka saat solat kita belum mampu
sampai pada tingkat itu, berarti ada yang salah dengan solat kita.
#KuduBanyakBelajar.
“Sibuklah
membersihkan diri pa, bu. Semoga Allah berkenan mengangkat derajat kita. lihat
bayi pa, bu. Itulah kemulyaan yang Allah lihatkan pada kita bagi hamba-hamba-Nya
yang suci dan bersih. Bayi itu ndak usah apa-apa banyak yang ngurusin. Bayi itu
ndak usah sibuk dengan mencari rizki, sudah ada yang menjamin. La kita pa, bu
kalau sibuk mbersihin diri, kembali pada fitah, nanti Allah yang ngurusin
semuanya. Lihat pa, bu para salafusholih dulu, ndak usah sibuk dengan
dunia, Allah cukupkan hidupnya, ndak usah banting tulang, pergi pagi pulang
sore, Allah cukupkan rizkinya. Karena apa, karena sibuk bersihin diri, minta
ampun ama Allah. Usaha dan kerjanya bukan untuk dunianya, tapi untuk Allah,
untuk menyempurnakan ikhtiarnya. Para salafusholih tidak resah, gelisah
dengan kekayaan dan kemiskinan dunia karena ia sadar bahwa ada yang lebih dari
keduanya, yaitu kunci syurga. Seorang muslim semua sudah dikasih kunci syurga-Nya,
tapi masalahnya kunci itu dipake atau ga, opo kunci syurgane lailaha
illallah. Kekayaan dan kemiskinan dalah bagian dari episode kehidupan,
sebuah titipan. Makane solato, sing bener nggeh, poso o sing bener enggeh. Mugi-mugi
Allah lares ngangkat derajat kulo sedoyo,” Ujar sang ustad pada jamaah yang
hadir. Kalimat ini, lagi-lagi membuat hati ini damai mendengarkannya. Kesibukan
dunia saat ini telah membawa kita pada kegersangan hidup. Hidup sepertinya
keriiiing, bahkan tak jarang lupa dengan Allah. Banting tulang mengais rizki,
mencampur adukan yang halal dan yang haram, menanggalkan kewajiban beribadah
pada-Nya, seolah lupa bahwa yang memberi semuanya adalah Allah, yang meluaskan
dan menyempitkan rizki adalah Allah.
“Pa, bu
lihat sinar matahari, tiap hari kita merasakana hangatnya to. Tapi klo bapak,
ibu ada di dalam rumah kira-kira terkena sinar matahari ndak?” tanya pa ustadz “tidak”,
“kenapa pa, bu” tanya pa ustad lagi. “karena kehalang tembok, atap” jawab
jamaah. “ya demikian pa, bu, cahaya petunjuk Allah itu selalu datang kepada
kita, tapi karena dosa kita banyak, makanya tidak masuk, makanya susah ngambil
hikmah, itu salah kita sendiri, ojo nyalahno gusti Allah!”. Berapa banyak
saudara, dari kita yang demikian adanya, hidupnya seperti dalam kegelapa,
hidupnya dalam lingkaran dan lumuran dosa. Sehingga akhirnya susah dekat dengan
Allah, susah menerima kebaikan, susah melihat hikmah. Itu bukan Allah tidak
adil, tapi itu justru akibat perilaku diri kita sendiri yang menghijab diri
dengan Allah.
Lalu bagaimana
cara membersihkan diri dari kotoran dosa yang melekat dalam diri kita?, Ustdz
pun memaparkan beberapa langkah pembersih jiwa sesuai syariat agama. “Pertama,
sucikan diri, jaga wudhu’ kita, usahakan hari-hari kita dipenuhi air wudu’.
Batal-wudu’ lagi, batal-wudu’ lagi demikian seterusnya. Orang bermaksiat itu
karena ga suci pa, bu. Wudhu’ membentengi diri dari perilaku-perilaku yang
tidak terpuji. Panjenengan tau kisah sahabat bilal yang suatu pagi selepas
solat subuh ditanya Raosul. “Ya bilal” engge kanjeng rosul, “Katakan kepadaku
apa amalanmu yang paling besar pahalanya yang kamu kerjakan dalam islam? “kelipun
ya rasul” takon bilal “Sesungguhnya aku mendengar hentakan sandalmu di syurga”,
“Setiap aku berwudu, baik siang maupun malam, aku selalu melakukan solat dengan
wudu tersebut ya Rasul” jawab Bilal. Subhanallah pa, bu, Bilal merupakan sahabat
rasul yang selalu menjaga kesehariannya dengan berwudhu. Setiap wudhunya itu batal,
maka ia akan berwudhu lagi kemudian melakukan solat dua rakaat setelah wudhu
tersebut. Kedua, Sabar. Sabaro pa, bu mon di uji maring gusti Allah. Ujian
untuk mengukur kualitas keimanan kita. Semua butuh ujian, tidak mungkin panen
kalau tidak diuji nandur, tidak mungkin merdeka kalau tidak diuji perjuangan. Ingin
mendapatkan nilai bagus tidak mau diuji yo opo. Ujian niku boten wenten sing
ngelebihi kapasitas kita pa, bu. Gusti Allah tau kadar keimanan dan keislaman
kita. Mon kulo sedoyo sabar, Allah tempataken ning tempat sing luweh luhur. Ada
lagi ujian sebagai pelebur dosa-dosa kita, mangkakno sing sabar. Sabar juga
saat melihat kemunkaran dan kemaksiatan. Sabar untuk tidak melakukannya. Sabaro
untuk menahan dari kesenangan sesaat, ono suargo sing abadi ning akhirat. Kaping
telu, rawue ning masjid. Makmurno masjid, makmurno rumah-rumah Allah dengan
ibadah-ibadah kita, lan kaping papat orang-orang yang nunggu waktu solat,
ia datang sebelum adzan berkumandang, duduk berdzikir siap menghadap Allah. Waktunya
hanya untuk menunggu waktu solatnya, dan waktu nunggunya digunakan untuk
kebermanfaatan bagi sesama dan amal-amal sholih lainnya”
Demikian kalimat panjang penutup
kajian malam itu. Lagi lagi sepertinya diri ini sudah jauh Allah, jauh dari
nilai-nilai kebaikan, kering dan tandus. Orang-orang yang “hidup bersama” Tuhan
akan selalu menemukan kedamaian akhiratnya tanpa melupakan dunianya. Wallahu A’lam.
Semoga ada kebaikan yang membawa manfaat. Amiin.